Sejarah
mengungkapkan bahwa Pulau Bangka pernah dihuni oleh orang-orang Hindu dalam
abad ke-7. pada masa Kerajaan Sriwijaya pula Bangka
termasuk pula sebagai daerah yang takluk dari kerajaan yang besar itu. Demikian
pula kerajaan Majapahit dan Mataram tercatat pula sebagai kerajaan-kerajaan
yang pernah menguasai Pulau Bangka.
Namun pada
masa itu pulau Bangka baru sedikit mendapat perhatian, meskipun letaknya yang
strategis ditengah-tengah alur lalu lintas setelah orang-orang daratan Asia
maupun Eropa berlomba-lomba ke Indonesia
dengan ditemukannya rempah-rempah. Kurangnya perhatian dari para bajak laut
yang menimbulkan penderitaan bagi penduduknya.
Untuk
mengatasi kekacauan yang terjadi, Sultan Johor dengan sekutunya Sutan dan Raja
Alam Harimau Garang. Setelah melakukan tugasnya dengan baik, juga mengembangkan
Agama Islam ditempat kedudukannya masing-masing Kotawaringin dan Bangkakota.
Namun sayangnya hal ini tidak berlangsung lama, kemudian kembali pulau Bangka menjadi sarang kaum bajak laut.
Karena merasa
turut dirugikan dengan dirampasnya kapal-kapalmya maka Sultan Banten
mengirimkan Bupati Nusantara untuk membasmi bajak-bajak laut tersebut, kemudian
Bupati Nusantara untuk beberapa lama memerintah Bangka dengan gelar Raja Muda.
Diceritakan pula bahwa Panglima Banten, Ratu Bagus yang terpaksa mundur dari
pertikaiannya dengan Sultan Palembang, menuju ke Bangka Kota dan wafat disana.
Setelah
Bupati Nusantara wafat, kekuasaan jatuh ketangan putri tunggalnya dan karena
putrinya ini dikawinkan dengan Sultan Palembang, Abdurrachman (1659-1707),
dengan sendirinya pulau Bangka menjadi bagian dari Kesultanan Palembang.
Pada tahun
1707 Sultan Abdurrachman wafat, dan ia digantikan oleh putranya Ratu Muhammad
Mansyur (1707-1715).
Namun Ratu
Anum Kamaruddin adik kandung Ratu Muhammad Mansyur kemudian mengangkat dirinya
sebagai Sultan Palembang, menggantikan abangnya (1715-1724), walaupun abangnya
telah berpesan sebelum wafat, supaya putranya Mahmud Badaruddin menyingkir ke
Johor dan Siantan, sekalipun secara formal sudah diangkat juga rakyat menjadi
Sultan Palembang.
Tetapi pada
tahun 1724 Mahmud Badaruddin dengan bantuan Angkatan Perang Sultan Johor
merebut kembali Palembang
dari pamannya.
Kekuasaan
atas pulau Bangka selanjutnya diserahkan oleh Mahmud Badaruddin kepada Wan
Akup, yang sejak beberapa waktu telah pindah dari Siantan ke Bangka
bersama dua orang adiknya Wan Abduljabar dan Wan Serin.
Kemudian atas
dasar Konversi London tanggal 13 Agustus 1814, Belanda menerima kembali dari
Inggris daerah-daerah yang pernah didudukinya ditahun 1803 termasuk beberapa
daerah Kesultanan Palembang. Serah terima dilakukan antara M.H. Court (Inggris) dengan K. Heynes
(Belanda) di Mentok pada tanggal 10 Desember 1816.
Kecurangan-kecurangan,
pemerasan-pemerasan, pengurasan dan pengangkutan hasil Timah yang tidak
menentu, yang dilakukan oleh VOC dan Ingris (EIC) akhirnya sampailah pada
situasi hilangnya kesabaran rakyat. Apalagi setelah kembali kepada Belanda.
Yang mulai menggali timah secara besar-besaran dan ang sama sekali tidak
memikirkan nasib pribumi. Perang gerilya yang dilakukan di Musi Rawas untuk
melawan Belanda, juga telah membangkitkan semangat perlawanan rakyat di Pulau
Bangka dan Belitung.
Maka pecahlah
pemberontakan-pemberontakan, selama bertahun-tahun rakyat Bangka mengadakan
perlawanan, berjuang mati-matian utnuk mengusir Belanda dari daerahnya, dibawah
pimpinan Depati Merawang, Depati Amir, Depati Bahrin, dan Tikal serta lainnya.
Kemudian
istri Mahmud Badaruddin yang karena tidak serasi berdiam di Palembang
diperkenankan suaminya menetap di Bangka
dimana disebutkan bahwa istri Sultan Mahmud ini adalah anak dari Wan
Abduljabar. Sejarah menyebutkan bahwa Wan Abduljabar adalah putra kedua dari
abdulhayat seorang kepercayaan Sultan Johor untuk pemerintahan di Siantan,
Abdulhayat ini semula adalah seorang pejabat tinggi kerajaan Cina bernama Lim
Tau Kian, yang karena berselisih paham lalu melarikan diri ke Johor dan mendapat
perlindungan dari Sultan. Ia kemudian masuk agama Islam dengan sebutan
Abdulhayat, karena keahliannya diangkat oleh Sultan Johor menjadi kepala Negeri
di Siantan.
Sekitar tahun
1709 diketemukan timah, yang mula-mula digali di Sungai Olin di Kecamatan Toboali
oleh orang-orang johor atas pengalaman mereka di semenanjung Malaka. Dengan
diketemukannya timah ini, mulailah pulau Bangka disinggahi oleh segala macam
perahu dari Asia maupun Eropa.
Perusahaan-perusahaan penggalian timah pun semakin maju, sehingga Sultan
Palembang mengirimkan orang-orangnya ke Semenanjung Negeri Cina untuk mencari
tenaga-tenaga ahli yang kian terasa sangat diperlukan.
Pada tahun
1717 mulai diadakan perhubungan dagang dengan VOC untuk penjualan timah. Dengan
bantuan kompeni ini, Sultan Palembang berusa membasmi bajak-bajak laut dan
penyelundupan-penyelundupan timah. Pada tahun 1755 pemerintah Belanda
mengirimkan misi dagangnya ke Palembang yang
dipimpin oleh Van Haak, yang bermaksud untuk meninjau hasil timaha dan lada di Bangka. Pada sekitar tahun 1722 VOC mengadakan perjanjian
yang mengikat dengan Sultan Ratu Anum Kamaruddin untuk membeli timah monopoli,
dimana menurut laporan Van Haak perjanjian antara pemerintah Belanda dan Sultan
Palembang berisi :
· Sultan hanya menjual timahnya kepada kompeni
· Kompeni dapat membeli timah sejumlah yang diperlukan.
Sebagai
akibat perjanjian inilah kemudian banyak timah hasil pulau Bangka
dijual dengan cara diselundupkan.
Selanjutnya
tahun 1803 pemerintah Belanda mengirimkan misi lagi yang dipimpin oleh V.D.
Bogarts dan Kapten Lombart, yang bermaksud mengadakan penyelidikan dengan
seksama tentang timah di Bangka.
Perjanjian
Tuntang pada tanggal 18 September 1811 telah membawa nasib lain bagi pulau Bangka. Pada tanggal itu ditandatanganilah akta penyerahan
dari pihak Belanda kepada pihak Inggris, dimana pulau Jawa dan daerah-daerah
takluknya, Timor, Makasar, dan Palembang
berikut daerah-daerah taklluknya menjadi jajahan Inggris.
Raffles
mengirimkan utusannya ke Palembang
untuk mengambil alih Loji Belanda di Sungai Aur, tetapi mereka ditolak oleh
Sultan Mahmud Badaruddin II, karena kekuasaan Belanda di Palembang sebelum
kapitulasi Tuntang sudah tidak ada lagi. Raffless merasa tidak senang dengan
penolakan Sultan dan tetap menuntut agar Loji Sungai Aur diserahkan, juga
menuntut agar Sultan menyerahkan tambang-tambang timah di pulau Bangka dan Belitung.
Pada tanggal
20 Maret 1812 Raffles mengirimkan Ekspedisi ke Palembang yang dipimpin oleh Jendral Mayor
Roobert Rollo Gillespie. Namun Gillespie gagal bertemu dengan Sultan lalu
Inggris mulai melaksanakan politik "Devide et Impera"nya. Gillespie
mengangkat Pangeran Adipati sebagai Sultan Palembang denga gelar Sultan Ahmad
Najamuddin II (tahun 1812).
Sebagai
pengakuan Inggris terhadap Sultan Ahmad Najamuddin II dibuatlah perjanjian
tersendiri agar pulau Bangka dan Belitung
diserahkan kepada Inggris. Dalam perjalanan pulang ke Betawi lewat Mentok oleh
Gillespie, kedua pulau itu diresmikan menjadi jajahan Inggris dengan diberi
nama "Duke of Island" (20 Mei 1812).